[Vignette] Of Scientist and His Coward Son

Of Scientist and His Coward Son by Lyri

Of Scientist and His Coward Son by Lyri

UP10TION Xiao as Lee Dong-Yeol, Actor Jung Dong-Hwan as as Lee Dong-Hwan as Ayah| Future, Family | PG | Ficlet (±1700wc)

“How much longer am I supposed to wait?” – Come as You Are

.

.

.

Ayahku adalah tokoh yang dihormati karena penemuannya; alat teleportasi. Aku sudah mengetahuinya sejak tujuh tahun lalu, waktu ayah menjelaskan rancangan penemuannya. Jadi, alat teleportasi ini bukan hal yang sangat keren lagi buatku, meski yang punya cuman orang terpandang dan pemerintah hanya menyediakan satu tiap distrik. Ayah bilang, pemerintah masih memberikan waktu pengujian selama setengah tahun.

Awalnya aku masih menganggap penemuan ayahku itu sebagai yang terhebat, tapi berubah waktu aku sadar bahwa, kenapa ayah tidak menciptakan alat teleportasi dengan jangkauan waktu yang luas, beberapa tahun ke belakang, mungkin? Atau sebuah mesin waktu, namanya? Ah, kurasa tidak, karena mesin waktu jangkauan waktunya lebih luas lagi.

Sebenarnya aku tidak mau melontarkan gagasan itu pada ayah yang baru dua bulan kemarin penemuannya diresmikan. Aku tahu, ayah pasti capek karena kerja kelasnya selama tujuh tahun (meski kerja kerasnya terbayar, sih). Tapi, aku tidak pernah bisa mengendalikan semua gagasan-gagasan gila milikku. Misalnya, gagasan sepatu dengan konsep elektromagnetik yang sekarang dikerjakan oleh Paman Kim. Ini tidak ada pengaruhnya dengan lobus temporalis-ku, kan?

“Idemu sangat bagus, Dong-Yeol. Teleportasi dengan jangkauan waktu adalah jawaban bagi para sejarawan yang hendak mencari kebenaran tentang masa lalu, juga sebagai ilmu pengetahuan tentang bagaimana kehidupan manusia beberapa puluh tahun ke belakang! Kamu jenius!”

Tapi sungguh, aku menyesal. Karena ayah kembali menyibukkan dirinya di laboratorium. Sepertinya, aku jadi mengerti kenapa ibu memilih untuk meninggalkan ayah. Ilmu pengetahuan telah membuat ayah menutup mata bahwa di luar sana ada orang yang mencintainya.

“Yeol, ayahmu keren banget! Apa ayahmu bisa buat robot spesialis kecantikan?”

Itu Han-Ra, teman perempuanku yang tingkat girly-nya nyaris seratus persen dan sangat konsumtif. Tukang review penemuan-penemuan terbaru lantas di posting ke blog yang iklannya muncul di mana-mana. Bukan karena jasa iklan yang disediakan tapi dengan meretas jaringan.

“Kenapa kamu tidak melakukannya sendiri, Han-Ra.”

“Aku seorang peretas bukan pencipta.”

Han-Ra mensejajarkan langkahnya denganku yang berjalan makin cepat. Aku memang tidak punya alasan untuk pergi cepat-cepat dari sekolah, tapi aku agak sensitif terhadap topik ini.

“Kamu bisa berdandan sendiri, kenapa masih butuh robot?”

“Hasil kerja robot lebih memuaskan, tahu.”

Selanjutnya, aku memilih berhenti. Menghela napas lantas menyimpan lengan di pundak Han-Ra. “Memangnya kamu pikir, siapa yang menciptakan robot?”

Han-Ra mendengus, menempis jemariku. “Kenapa kamu selalu jadi galak kalau bicara tentang hal ini? Menyebalkan! Kalau aku meretas komputer ayahmu baru tahu rasa!”

Aku menghela napas, Han-Ra benar-benar keras kepala. Tapi, masalah Han-Ra yang ngambek dengan pergi begitu saja berusaha kuabaikan. Rasa kecewa pada ayah adalah yang terpenting (dan sialnya ini karena keceplosan sialanku!).

Bayang-bayang menghabiskan waktu bersama ayah pupus begitu melihat ayah dan para asistennya kembali menghidupkan suasana sibuk di laboratorium rumah maupun Pusat Pengembangan Teknologi di Seoul. Aku menendang kerikil yang mengahalangi jalanku; lumayan menarik untuk dijadikan objek pengalihan rasa kesal. Lantas terkejut begitu melihat sepasang sepatu hitam mengilap melindas habis kerikilku. Mana bisa?!

Kemeja putih dipadukan dengan dasi dan jas hitam. Kini, mataku beralih ke bawah. Celana panjang hitam, sepatu mengilap, dan… senjata? Setahuku itu jenis pistol semi-automatic. Tapi tidak peduli apa jenisnya, namanya, bahkan warnanya, aku benar-benar takut! Pistol dan wilayah yang sepi membuat cowok berumur tujuh belas tahun ini ketakutan. Duh, ini wajar, kan?

“Kamu putranya, Lee Dong-Hwan, kan?”

Aku mengerjap. Dia … bukan orang jahat, kan?

“Antar aku ke laboratorium di rumahmu.”

Kini aku tahu kalau dia orang jahat. Tidak mungkin ada kawan ayah yang menyuruhku seenaknya. Apalagi untuk pergi ke laboratorium, cuman asistennya dan aku yang boleh masuk (lagi pula ayah memang tidak punya kawan dekat, sih).

“Untuk apa?”

“Mencuri rancangan alat teleportasi penembus waktu.”

Tuh, kan, dia seratus persen orang jahat yang tidak tahu bagaimana caranya berbohong. Aku mendengus, tapi tangannya tiba-tiba bergerak mengarahkan pistolnya tepat di keningku. Serius! Jantungku berdebar (ini bukan karena jatuh cinta, ya!).

Aku yang sama sekali tidak punya bakat dalam hal bela diri hanya bisa menghela napas dan pasrah.

“Baiklah, ayo ikuti aku.”

Akhirnya, si Tuan Besar (tubuhnya tinggi dan besar sekali, omong-omong), menjauhkan pistolnya. Sekarang, aku harus memutar otak, mencari cara untuk menjebaknya. Aku tidak bisa mengambil arah memutar atau jebakan arah lainnya karena wilayah ini sudah padat oleh bangunan industri dan aku yakin kalau si Tuan Besar punya tingkat intelegensi yang cukup tinggi.

Aku sudah mengeruk habis semua kemungkinan yang bisa dilakukan, otakku bahkan sudah memanas, tapi tetap tidak terjawab hingga akhirnya kami sampai di depan rumah dengan ….

Ya ampun! Ayah sudah ada di sana! Berdiri sambil menyilangkan tangan di dada dan menaikkan dagu, di belakangnya ada belasan polisi bersiap dengan pistolnya. Aku segera kabur sebelum si Tuan Besar menangkapku lalu menjadikanku sebagai media mendapatkan rancangannya. Kau tahu, kan, alurnya, dengan mengancam Tuan Dong-Hwan kalau aku akan dibunuh kalau tidak memberikan rancangannya.

Tapi tidak seperti dugaan, si Tuan Besar membiarkanku lepas, malah diam lantas mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan tertawa sarkastis. Sekon berikutnya, pria yang berpakaian sama dengannya dengan jumlah puluhan datang dari belakang. Lalu ….

Dor!

Bawahan si Tuan Besar mulai menembakkan pistolnya (ada juga yang bawa senapan!). Polisi juga melakukan hal yang sama. Sebagian menyerang, sebagian mengamankan aku dan ayah, yang menggenggam jemariku erat-erat, menuju ke laboratorium.

Kalau kisah hidupku belum berakhir di sini, tentu ini akan jadi pengalaman terhebat dan terkeren yang pernah aku alami. Berlarian di antara dua kelompok yang saling menyerang pakai senjata plus penjahat yang mengejar di belakang. Kisah ini bisa aku ceritakan pada Han-Ra dan teman-temanku, supaya mereka tahu kalau aku tidak sepayah itu dalam menghadapi musuh. Tapi kalau memang berakhir di sini, tentu bakal mengerikan karena teman-temanku akan mencap aku sebagai laki-laki penakut yang pernah ada.

Suara tembakan yang makin keras dan menegangkan membuat fantasiku berhamburan. Tahu-tahu, tinggal ada aku dan ayah di sini (plus tiga penjahat yang mengejar). Jangan bilang, kalau polisi yang mengantar kami sudah tumbang di tengah jalan! Ya ampun, aku sedikit bersyukur sempat berfantasi sebagai pengalihan fokus.

Setelah sampai di depan laboratorium, cepat-cepat ayah mendekatkan wajahnya pada sensor sehingga pintu terbuka secara otomatis lantas buru-buru menekan perintah kunci dengan sidik jarinya.

“Kita harus mengamankan rancangan kita, Yeol!”

Maksudnya, rancangan ayah?

Aku melepaskan tangan ayah yang sedari tadi menyeretku hingga sampai ke laboratorium. Aku marah, tapi ayah tidak tahu. Ayah sibuk mengotak-atik program untuk membuat perlindungan jaringan dan menyembunyikan rancangannya di komputer.

“Ayah! Kenapa malah memikirkan rancanganmu itu dari pada keselamatan kita?”

Ayah membatalkan pergerakaannya untuk mengambil ponsel, memilih menghampiriku sembari mengusap peluh. Peluhnya banyak sekali! “Kalau rancangan ini jatuh ke tangan yang salah, akan bahaya. Kamu tahu siapa mereka?” Aku menggeleng. “Mereka para penjual sumber daya alam negara tanpa izin pemerintah. Mereka ingin pergi ke masa lalu lantas mengambil harta kerajaan-kerajaan besar atau pengusaha-pengusaha besar zaman dulu.”

“Aku mengerti, Yah. Tapi … tidakkah ayah pernah berpikir kenapa ibu meninggalkanmu? Maksudku–tentang bagaimana perasaanku saat ayah terlalu sibuk berkerja, meskipun–oke, ayah tidak pernah mengabaikanku.”

Sekon selanjutnya, ayah menamparku. Rasa sakitnya lebih terasa di hati, sungguh. Karena ini adalah kali pertama ayah menamparku dan berkata dengan intonasi tinggi. “Jangan pernah bawa-bawa ibumu, Dong-Yeol! Ibumu mengkhianati ilmu pengetahuan! Dia tidak pernah setuju dengan kemajuan teknologi, dia buta teknologi sampai akhirnya pergi meninggalkan kita!”

Hatiku mencelos, mendengas ayahku sendiri yang (kedengarannya) cukup menghina ibu. Memangnya, seburuk itukah ibu?

“Ibu bukan buta teknologi, tapi dia kesepian, Yah! Ayah terlalu sibuk dengan penemuan ayah. Seperti yang aku alami. Aku punya banyak teman, hidupku juga mewah; aku anak seorang ilmuwan yang pada masa ini sangat dihargai. Tapi, tahukah ayah kalau aku selalu merasa kesepian? Kalau memang ibu bersalah atas perpisahan kalian, kenapa ayah juga malah meninggalkanku sendiri?!”

Ayah diam lantas merogoh ponselnya di saku. Aku yakin dia akan menelepon Asisten Jung yang masih standby di Pusat Pengembangan Teknologi. “Tolong amankan realisasi rancangan kita. Para penjahat itu mungkin akan segera menuju ke sana.” Kini suara ayah lebih santai, tapi aku masih bisa menangkap nada bimbangannya.

Aku menghela napas, pasrah. Ya, biarkan saja. Mungkin hubungan kami akan jadi renggang setelah ini. Aku tidak lagi berpikir kalau kisah ini bakal jadi yang terkeren kalau berlanjut. Lebih baik menerima tawaan di hari kematianku daripada harus hidup dengan jarak yang jauh (padahal dekat) dengan ayah.

“Buka pintunya, Tuan Lee! Kami sudah menyiapkan peledak!”

Duh, jantungku berdebar lagi! Sampai-sampai lemparan bola karet sekepalan jemari orang dewasa yang kumainkan untuk melepas penat meleset mengenai rak buku yang ada di ujung laboratorium. Lantas aku dikejutkan karena tiba-tiba rak buku itu naik ke atas dan memperlihatkan eksistensi tangga (yang kukira jumlahnya puluhan) menuju ruang bawah tanah.

Aku menatap ayah, yang matanya sayu, membuatku merasa bersalah karena telah membentaknya dan tamparan ayah malah ingin kurasakan lagi. Mata kami saling bertemu, lantas ayah menghampiri dan menepuk bahuku.

“Tunggu ayah di ruang bawah tanah. Itu adalah tempat paling aman.”

Suara ayah bergetar, membuatku ketakutan.

“Apa?”

“Ayah akan selesaikan semuanya. Sekarang, kamu pergi ke ruang bawah tanah. Biarkan ayah menyelesaikan semuanya.”

Ayah meremas pundakku keras, mungkin mencoba bertahan. Tapi justru membuatku tak bisa menahan air mata. Bagaimana bisa aku melihat ayah yang baru saja mendapat kebahagiaanya tiba-tiba berubah menjadi menderita? Oke, ayah memang tersenyum, tapi aku tahu itu palsu.

“Tapi–ayah akan kembali, kan?”

“Ya, kembali dengan sosok ayah tanpa ilmu pengetahuan. Setelah itu kita akan menghabiskan waktu berdua … sepanjang sisa hidup ayah.”

Maka ayah mendorongku ke ruang tersembunyi itu sebelum akhirnya membuat rak buku kembali menutup. Aku melihat setitik air mata milik ayah untuk pertama kalinya. Begitu juga milikku yang keluarnya makin banyak. Bukan karena takut berada di kegelapan, toh aku punya senter otomatis yang akan menyala tiap keadaan cahaya minim dari jam tanganku. Tapi, takut ayah tidak akan menempati janjinya. Bukan janji hadir sebagai sosok baru atau menghabiskan waktu bersama, tapi … untuk kembali.

Aku tidak suka menunggu. Karena ibu pernah mengatakan hal yang sama, ibu akan kembali. Tapi sampai dua belas tahun berikutnya, hal itu tidak pernah terjadi.

**

Hampir satu jam aku menuruni tangga panjang ini. Kakiku tentu pegal tapi kuabaikan ketika melihat sebuah pintu mengilap. Buru-buru aku membuka pintunya dan terkejut begitu melihat rumahku tidak berbentuk lagi juga sirine dari mobil ambulance dan puluhan mobil polisi (ada juga yang meliput–ugh, menyebalkan!).

Buru-buru aku pergi ke kerumunan di sana dan langsung disambut oleh Paman Kim yang memelukku kencang sekali. Hal buruk tidak sedang terjadi, kan?

Paman Kim menangis, air matanya sampai membasahi bajuku. Paman Kim bukan tipikal pria cengeng, bahkan ia tidak menangis saat penemuannya ditolak mentah-mentah oleh pemerintah. Maka aku yakin, sesuatu yang buruk telah terjadi …

**

Ilmuwan Lee mengaktifkan mode peledakan di dalam laboratoriumnya. Berniat menghancurkan rancangan teleportasi penembus waktu sekaligus penjahat yang mengejarnya. Tapi terlambat kabur karena sensor pintu laboratorium maupun ruang rahasia telah rusak.

**

Maka di sini aku sekarang, menunggu kedatangan ayah bersama sisa puing-puing rumah kita. Sudah lima tahun memang, bahkan air mataku sudah tidak mampu menampakkan diri, tapi waktuku tetap terasa menyenangkan karena merasa ayah sedang memelukku di sini, menyambut kedatanganku.

Jadi, harus berapa lama lagi aku menunggu wujudmu menghampiriku? Lima tahun, sepuluh tahun, atau …

Selamanya?

Aku menyayangimu, Ayah. Sungguh.

-fin-

1) Edisi ngebut satu hari, akibat ngejer deadline Open Recruitment 2 juga baru selesai UAS.

2) Asalnya kumau tulis Hwanhee tapi yg terbayang wajah Dek Xiao kubisa apa.

3) Heol. Aku baru mencoba genre seperti itu karena biasanya mentok di fluff, romance, friendship, family. So, ini pertama kalinya kubuat yg seperti ini(???) Jadi maaf kalau rada aneh-aneh gaje gimana gitu :””

4) Kalau ada kesalah informasi/ilmu, beritahu aku, ya :–)

4) Yeay, akhirnya kubisa debut di U10T FF INDO! <333

5) Btw, aku Anis line 99. Biasku semua member UP10TION karena masih bingung (hm). Tapi kalau harus banget pilih aku pilih Gyujin haha xD

tumblr_nyj3lvKuz21uicvmfo2_r1_400

6) Terima kasih yg sudah baca sampai selesai, eheh.

Ditandai:,

Drop your mind here!